Pringsewu, NU Online LampungPengasuh Pondok Pesantren Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an (PPTQ) Al Husna Pringsewu, KH Abdul Hamid menyampaikan, lima hikmah Hari Raya Idul Adha.
Pertama, yaitu Nabi Ibrahim mendambakan seorang anak bukan semata-mata agar mempunyai anak, akan tetapi anak yang saleh dan dapat melanjutkan estafet perjuangan ayahandanya dalam menegakkan agama Allah swt.
Hal tersebut disampaikan pada saat menjadi khatib Shalat Idul Adha di Masjid Baitul Hikmah Podomoro Pringsewu. Shalat Id tersebut diikuti oleh santri PPTQ Al-Husna Bukit Raja Wali dan PPM Baitul Qur’an, serta masyarakat sekitar.
“Hikmah bagi kita adalah janganlah kita mempunyai anak yang lemah, lemah fisiknya, lemah hartanya, lemah akalnya, lemah akhlaknya, apalagi lemah imannya,” ujarnya.
Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 9, dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.
Kedua, walaupun Nabi Ibrahim sebagai ayah yang mempunyai kekuasaan penuh terhadap putranya Ismail, Nabi Ibrahim tidak memaksakan isi wahyu itu, ia memberikan kebebasan berpikir pada putranya dengan ucapan: Wahai anakku aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, bagaimana pendapatmu?.
“Tindakan Nabi Ibrahim semacam ini perlu dijadika Yon cermin bagi kita selaku orang tua, pendidik maupun penguasa. Sebagai orang tua janganlah sekali-kali kita memaksakan sesuatu kepada anak kita,” kata Kiai Hamid.
Ia melanjutkan, hal tersebut apakah tentang pilihan sekolah, pilihan pondok pesantren atau bahkan pilihan jodoh, mereka harus diajak berpikir rasional bukan diktator yang diajarkan kepada mereka.
Ketiga, menyembelih hewan kurban itu mempunyai dua makna dhohir dan batin, dhohirnya kita menyembelih hewan, batinnya adalah kita berusaha menyembelih sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri. Mulai dari sifat rakus, ingin berkuasa, pamer, menipu, sombong dan lain sebagainya.
Keempat, Ismail di sini hanyalah sekadar simbol. Simbol dari segala yang kita miliki dan cintai dalam hidup ini. Kalau Ismailnya Ibrahim adalah putranya sendiri, lantas siapa Ismail kita?.
“Bisa jadi diri kita sendiri, keluarga, anak dan istri, harta, pangkat dan jabatan kita. Yang jelas seluruh yang kita miliki bisa menjadi Ismail kita yang karenanya kita akan diuji oleh itu semuanya,” tuturnya.
Menurutnya, kecintaan pada Ismail itulah yang kerap membuat iman seseorang goyah dan lemah untuk mendengar dan melaksanakan perintah Allah. Kecintaan pada Ismail yang berlebihan juga membuat seseorang jadi egois, mementingkan diri sendiri dan serakah tidak mengenal batas kemanusiaan.
“Nabi Ibrahim tidak diperintah oleh Allah untuk membunuh Ismail. Nabi Ibrahim hanya diminta oleh Allah untuk membunuh rasa kepemilikan terhadap Ismail,” katanya.
Kelima, Siti Hajar lari-lari ke bukit shafa marwah sebanyak 7 kali, namun air zam-zam justru muncul di dekat kaki Ismail, hal ini memberikan isyaroh bahwa ikhtiar itu perbuatan, sedangkan rezeki merupakan kejutan.
Kiai Hamid juga mengajak pada seluruh jamaah agar benar-benar menjadi Ibrahim dan ismail masa kini, menjadi Ibrahim yakni sebagai orang tua yang dapat memberikan suri teladan kepada anaknya.
“Dan menjadi Ismail yakni sebagai anak yang dapat mengangkat derajat kedua orang tua dan mampu melanjutkan estafet perjuangan orang tuanya,” katanya.